Laporan: DARWIS PANTONG Banjarmasin, Kalsel
TEPAT pukul 06.00 wita pagi, Minggu, 9 Februari 2020, kami turun ke lantai dasar hotel untuk sarapan. Sejak jam 04.00 dinihari tadi, kami semua sudah bangun.
Pasalnya, kami janjian ke pinggir Sungai Martapura, Banjarmasin untuk melihat panorama Pasar Terapung. “Pasarnya hanya berlangsung hingga pukul 10.00,” ujar Marno Pawessai, Sekretaris PWI Sidrap-Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel)
Hanya saja, karena mobil jemputan sedikit telat, sehingga kami nyaris tidak dapat melihat eksistensi Pasar Terapung yang memjual aneka sayuran, buah-buahan, dan hasil bumi lainnya tersebut.
“Sedikit lagi terlambat, kita tidak bisa lagi melihatnya,” tutur Marno yang juga Ketua Tim Delegasi PWI Sidrap-Enrekang untuk Hari Pers Nasional (HPN) 2020 di Kalimantan Selatan (Kalsel).
Tempat ini cukup ramai. Ratusan pengunjung memadati lokasi ini. “Ada acara Car Free Day. Begini suasananya kalau hari Minggu,” papar sopir yang mengantar kami.
Banyak sekali pedagang berjualan di tempat yang bersebelahan dengan lokasi Expo Media Pers 2020 di Taman Siring, Titik Nol Kilometer ini. Berbagai jenis kuliner dan pakaian serta aksesoris dijajakan di sini.
Dan, yang tak kalah menarik dan banyak diminati adalah perahu klotok. Pengunjung berebutan naik ke perahu kayu bermesin diesel tersebut untuk berwisata air menyusuri sungai.
Untuk bisa menumpang perahu klotok, pengunjung harus membayar harga tiket yang variatif. Tergantung jauhnya jarak tempuh. Tapi, tarifnya cukup terjangkau. Antara Rp10 ribu hingga Rp35 ribu. Khusus untuk anak-anak, cukup Rp5 ribu.
Kami menyewa satu perahu klotok ke Pulau Kembang. Sebuah hutan wisata alam di tengah Sungai Barito yang menjadi habitat monyet berekor panjang. Bagi warga Kalimantan, binatang ini dinamakan bekantan atau monyet Belanda lantaran memiliki hidung mancung.
Perjalanan sampai ke Pulau Kembang yang dikelilingi hutan tetumbuhan semak perdu ini, membutuhkan waktu sekira 60 menit. Melintasi Sungai Martapura dan menyeberang ke Sungai Barito yang cukup lebar. Saat kami berangkat, hujan turun cukup deras mengguyur.
Sesekali kami berpapasan atau searah tujuan dengan sejumlah perahu klotok lainnya. Umumnya membawa penumpang banyak, hingga mereka bertengger di atap perahu
Kedalaman air di sungai ini mencapai puluhan meter. Tak heran, sepanjang perjalanan, kami banyak menjumpai kapal besi dan tongkang pengangkut batubara berukuran besar. Baik yang sedang sandar di bantaran sungai maupun sementara bergerak.
Bahkan, sejumlah dermaga pelabuhan petikemas juga kami lalui. Beberapa kolong jembatan besar nan panjang pun kami lintasi. Pantas jika Banjarmasin dijuluki Kota Seribu Sungai.
Tiba di Pulau Kembang, hujan masih mengguyur meski tidak sederas waktu di perjalanan. Kami ditawari kacang goreng dalam kemasan oleh pedagang. “Ini untuk makanan monyet,” kata salah seorang dari mereka.
Untuk masuk ke area taman wisata yang terdapat banyak bekantan berkeliaran itu, kami wajib membayar retribusi sebesar Rp10 ribu per kepala.
Ketika masuk ke dalam. Kami langsung diserbu beberapa ekor bekantan. Penduduk sekitar bilang, monyet-monyet tersebut tidak berbahaya, sehingga tak perlu khawatir mendekat.
Selain di atas rumput dan tanah, banyak juga bekantan yang bergelantungan di atas dahan pohon atau di langit-langit maupun atap bangunan gasebo yang ada.
Mereka sangat gemar makan kacang. Ketika dilempari kacang, dengan sigap dan cekatan para bekantan ini menangkap kemudian mengulitinya untuk dimakan.
Karena situasi hujan, kami tidak jadi masuk ke dalam hutan untuk melihat lebih banyak bekantan. “Di dalam masih banyak lagi,” ujar salah seorang warga
Usai shalat dhuhur berjamaah di sebuah langgar di Pulau Kembang, kami beranjak pulang menggunakan perahu klotok yang kami sewa. (*)