MAKASSAR, MNC – Pasca 100 hari kematian Virendy Marjefy Wehantouw (19), mahasiswa Fakultas Teknik (FT) Arsitektur Universitas Hasanuddin (Unhas), saat mengikuti kegiatan Pendidikan Dasar dan Orientasi Medan (Diksar dan Ormed) XXVII UKM Mapala 09 Senat Mahasiswa FT Unhas. Namun kepergian Almarhum yang begitu tragis masih meninggalkan misteri yang belum dapat terkuak secara transparan hingga saat ini.
Hal itu dikemukakan kuasa hukum keluarga Virendy, Yodi Kristianto, SH, MH, Sabtu (29/4/2023) ketika menjawab pertanyaan awak media, terkait perkembangan penanganan kasus yang masih dalam tahap penyidikan aparat Kepolisian Resor (Polres) Maros.
Salah satu yang menjadi sorotan pihak kuasa hukum adalah hasil investigasi terhadap locus delicti kematian Virendy, yang telah dipaparkan secara rinci dalam gelar perkara di Polda Sulsel yang tidak direkomendasikan dalam proses penyidikan perkara.
“Kami sudah memaparkan secara rinci kronologi kematian Virendy, berikut analisis hukum terhadap kematian korban beserta bukti-bukti dugaan penganiayaan di tubuh korban (yang kemudian didukung hasil visum), fakta-fakta yang ditemukan dalam investigasi yang dilakukan pihak kuasa hukum, yang berlawanan dengan keterangan pihak Mapala,” beber Yodi.
Termasuk dugaan locus delicti yang berbeda dengan penyidik, dan hal ini telah dipaparkan di hadapan Propam dan Irwasda Polda Sulsel, dalam gelar perkara yang dipimpin langsung Wassidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) dan dihadiri oleh keluarga korban, penyidik Polres Maros, serta beberapa pihak terkait lainnya.
“Hasil investigasi kami didukung sejumlah bukti dan saksi serta pengakuan warga yang melihat, mendengar dan menyaksikan langsung peristiwa itu pada rentang waktu, dan hari yang sama dengan waktu kematian Virendy,” ujarnya.
“Terlalu kecil kemungkinannya jika hal yang demikian adalah sebuah kebetulan, jika melihat ciri-ciri dan jumlah peserta dan panitia, berikut rentang waktunya,” terangnya.
Dalam perkembangannya pihak kuasa hukum menyatakan bahwa, hasil investigasi terkait locus delicti Virendy tidak ditindaklanjuti pihak kepolisian.
“Kami tidak menerima informasi lebih lanjut mengenai penyidikan terkait locus delicti kematian Virendy, berdasarkan hasil investigasi pihak kuasa hukum. Pihak Penyidik diduga cenderung ‘memaksakan’ lokasi kematian berdasarkan keterangan pengurus Mapala, sekalipun tidak didukung bukti dan saksi yang menguatkan,” jelasnya.
Hal ini sangat disayangkan, sebab fakta baru tersebut menurut pihak kuasa hukum, dapat menjadi titik terang dalam penyidikan kasus Virendy, terutama petunjuk dalam mengungkapkan tersangka.
“Sebagian saksi di Malino bahkan bisa menunjuk langsung salah satu yang diduga kuat, adalah tersangka utama dalam kasus kematian Virendy. Kami sangat mendesak pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini tanpa mengabaikan pendapat profesional kami yang berguna dalam proses penyidikan,” tegas Yodi Kristianto.
Tompobulu atau Malino ?
Sebagaimana pernah diberitakan sebelumnya di berbagai media, ditengah simpang siurnya informasi dan belum jelasnya motif atau penyebab pasti kematian Virendy, belakangan muncul kabar dan temuan baru yang diharapkan bisa menjadi petunjuk bagi aparat kepolisian dalam melakukan penyelidikan, untuk mengungkap dan membuat kasus tewasnya mahasiswa Arsitektur Unhas itu menjadi terang benderang.
Kabar terbaru yang diterima pihak keluarga almarhum Virendy pada akhir Januari 2023, dan langsung ditindaklanjuti dengan melakukan investigasi di lapangan, hasil awalnya semakin menimbulkan kecurigaan, dan dugaan adanya skenario dan pengaburan fakta terkait tempat kejadian perkara (TKP) yang ditengarai dilakukan pihak Mapala 09 FT Unhas, untuk berusaha menutup – nutupi kasus ini agar bisa lepas dari jeratan hukum, ungkap Yodi.
Peristiwa kematian Virendy saat mengikuti kegiatan Diksar & Ormed XXVII UKM Mapala 09 Senat Mahasiswa FT Unhas, pertama kali disampaikan oleh Ibrahim (Ketua Mapala 09 FT Unhas) kepada keluarga almarhum pada Sabtu (14/1/2023) pagi di RS Grestelina Makassar, dengan menyebutkan TKP adalah daerah perbukitan di wilayah Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros.
Keterangan Ibrahim soal TKP dan menyebutkan Virendy meninggal dunia pada Jumat (13/1/2023) malam sekitar pukul 23.00 Wita. Inilah yang kemudian menjadi dasar bagi keluarga sewaktu melapor ke aparat penegak hukum di Polres Maros. Penyidik pun melakukan penyelidikan dengan mengacu kepada ‘locus delicti’ adalah daerah yang berada di wilayah Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
Namun belakangan, Selasa (31/1/2023) sore sekira pukul 16.59 Wita, seorang kerabat keluarga menelpon menyampaikan informasi bahwa, melihat adanya rombongan mahasiswa peserta Diksar dengan jumlah berkisar 10 orang, mengenakan kostum seragam merah bersama puluhan panitia dan seniornya melintas di jalan poros Kota Malino depan obyek wisata Hutan Pinus (Jl Karaeng Pado) pada Jumat (13/1/2023) malam sekitar pukul 20.00-21.00 Wita.
Informasi via telepon inilah yang selanjutnya dianalisa dan ditindaklanjuti pihak keluarga, dengan melakukan investigasi sampai ke Malino Kabupaten Gowa. Serta mengambil keterangan sejumlah warga yang mengaku melihat langsung adanya rombongan mahasiswa peserta Diksar mengenakan kostum seragam warna merah, yang melintas di depan mereka pada Jumat (13/1/2023) malam.
Pengakuan sejumlah warga itu yang juga menerangkan, bagaimana suasana saat peserta Diksar melintas dengan mengalami perlakuan dari senior-seniornya yang terlihat bersikap arogan dan bahkan terkesan ‘kejam’, semakin membuat pihak keluarga pun curiga dan menimbulkan dugaan bahwa, Virendy meninggal bukan di Tompobulu tetapi di Malino.
Dengan begitu, jika kelak informasi tersebut benar maka patut diduga pula oknum – oknum pengurus Mapala 09 FT Unhas, Panitia dan Peserta Diksar, pihak Unhas serta unsur terkait lainnya, telah dengan sengaja secara bersama – sama melakukan pengkaburan data, menghalang-halangi penyelidikan/penyidikan, dan memberi keterangan palsu kepada keluarga almarhum maupun aparat kepolisian.
Dugaan melakukan pengaburan fakta ini, dinilai cukup beralasan karena jika dilaporkan TKPnya di hutan-hutan atau daerah perbukitan di wilayah Tompobulu, Maros, maka saksi – saksinya hanya sesama mereka saja. Sementara kalo benar TKPnya di daerah Malino, maka banyak warga yang menyaksikan dan bisa memberikan kesaksian, tentang kejadian sebenarnya. Sehingga sangat mudah bagi aparat kepolisian dalam mengungkap kasus ini secara terang benderang.
Pada Selasa (31/1/2023) sore, James Wehantouw, ayah almarhum Virendy dihubungi via telepon oleh Nanang, seorang kerabatnya yang berprofesi jurnalis. Dalam percakapan telepon, Nanang menyampaikan melihat langsung adanya rombongan mahasiswa peserta Diksar yang melintas berjalan kaki di jalan poros Kota Malino, dalam suasana yang terkesan diwarnai adanya unsur ‘kekerasan/penyiksaan’.
“Kanda, anakda dikabarkan meninggal pada Jumat (13/1/2023) malam sekira pukul 23.00 Wita di daerah Tompobulu, Maros ? Nah pada hari dan tanggal yang sama, sekitar pukul 20.00 – 21.00 Wita, saya dan banyak warga di Malino melihat rombongan mahasiswa pencinta alam peserta Diksar, melintas berjalan kaki hingga berlari saling berpegangan tangan di jalan poros depan obyek wisata Hutan Pinus Malino,” tukas Nanang dari balik telepon selularnya.
Peserta Diksar yang dilihatnya melintas, mengenakan kostum seragam warna merah, sama atau mirip dengan pakaian yang dipakai rombongan almarhum Virendy. “Saya tidak tahu pasti rombongan Mapala dari institusi mana yang melintas malam itu. Yang jelas peserta Diksar tidak banyak, berkisar 10 orang saja. Tapi panitia dan senior-seniornya banyak sekali. Peserta Diksar mengenakan kostum seragam warna merah, sama dengan kostum rombongan anakta’ yang saya lihat pada foto di sejumlah media,” bebernya.
Nanang menceritakan lagi, puluhan panitia dan seniornya terlihat sangat arogan dalam bersikap, dan bahkan ada yang perilakunya terkesan ‘kejam’ terhadap peserta. Ada seorang peserta pria yang sudah berapa kali rubuh tersungkur di aspal tapi tetap ditarik paksa untuk berdiri, dan terus berlari di jalan aspal yang menanjak.
“Saya sampai emosi dan ngomel-ngomel melihat perilaku senior-senior kepada peserta Diksar yang terkesan melebihi pendidikan militer. Saya sampai berteriak, kalau saja terjadi apa-apa sama anaknya orang, maka saya paling duluan wawancara dan beritakan kalian. Bukan hanya saya yang menyaksikan, tapi banyak warga melihat langsung kejadian tersebut,” tuturnya.
Ditanyakan apakah ada peserta, panitia atau senior yang sempat dikenalinya saat melintas, Nanang mengaku ada seorang senior wanita dengan gestur tubuh agak gemuk pendek, yang terlihat paling menonjol menunjukkan sikap arogan dan terkesan ‘kejam’ kepada peserta Diksar. Sepanjang jalan, senior wanita itu paling ribut suaranya dengan berteriak-teriak keras membentak dan memaksa peserta terus berjalan, meski sudah kelelahan ataupun jatuh tersungkur di aspal jalan.
Saat dikirimkan via WA, foto salah seorang senior wanita yang ikut dalam rombongan Diksar Mapala 09 FT Unhas, meski tak memastikan 100 persen namun Nanang pun memperkirakan kemungkinan besar senior wanita di foto itulah yang dilihatnya melintas di hadapannya pada Jumat (13/1/2023) malam sekitar pukul 20.00 – 21.00 Wita. Ia juga tak melihat jelas wajah peserta pria yang beberapa kali tersungkur, tapi masih dipaksa bangkit dan berlari. Hanya gestur tubuhnya yang tinggi dan kulit putih.
Menanggapi serius informasi yang diberikan kerabatnya Nanang dan juga seorang jurnalis lainnya, Muh. Amir Dg Gassing yang berdomisili di Jl Karaeng Pado, Malino, keluarga Virendy beserta tim kuasa hukumnya sepakat berangkat ke Malino untuk melakukan investigasi. Selama 2 hari pada Kamis (2/2/2023) dan Sabtu (4/2/2023), keluarga dan kuasa hukum mengambil keterangan sejumlah warga.
Sejumlah warga yang ditemui dan berdomisili di sepanjang jalan poros depan hutan pinus, semuanya memberikan keterangan yang sama, seperti kaos seragam warna merah yang dikenakan oleh sekitar 10 orang peserta Diksar, kemudian dikawal puluhan panitia dan senior-senior. Serta suasana yang terkesan diwarnai unsur ‘kekerasan/penyiksaan’ terhadap peserta. Sejumlah warga juga mengakui hanya mengenali salah seorang senior wanita yang ketika itu terlihat sangat arogan, dan kejam serta berteriak – teriak sepanjang jalan.
Ciri-ciri wanita yang disebutkan sejumlah warga itu, sama dengan pengakuan Nanang maupun Muh. Amir. Bahkan ada seorang wanita berusia remaja sehabis menceritakan apa yang dilihatnya terjadi sewaktu rombongan mahasiswa peserta Diksar bersama panitia, dan senior – seniornya melintas di hadapannya, ketika diperlihatkan foto seorang senior wanita di Mapala 09 FT Unhas, dia secara spontan menunjuk dan memastikan jika wanita di foto itulah yang dilihatnya.
Mengacu kepada kesaksian sejumlah warga itu, keluarga pun berupaya meminta bantuan beberapa warga yang rumah atau tempat usahanya dilengkapi perangkat CCTV. Sayangnya, meski semua warga mempersilahkan melihat hasil rekaman CCTV, tapi kemampuan perangkat mereka dalam menyimpan hasil rekaman hanya paling lama 14 hari. Sehingga untuk data rekaman tanggal 13 Januari 2023 sudah hilang dari perangkat CCTV tersebut, karena sudah sekitar 21 hari (3 pekan) berlalu. (*/MERPOS)