OPINI : URGENSITAS PEMBENTUKAN PENGADILAN LINGKUNGAN HIDUP AD HOC DI INDONESIA
Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam serta keindahan alam yang dapat membuat siapapun yang melihatnya akan terpanah, hal inilah yang seharusnya menjadi icon bagi Indonesia agar lebih dikenal di ranah internasional. Kesempatan ini pun tidak disia- siakan oleh pemerintah yang secara historis , sejak era 1980-an berkembang tuntutan- tuntutan yang meluas agar kebijakan resmi negara yang pro lingkungan dapat tercermin dalam bentuk perundang-undangan untuk ditaati oleh semua stakeholder tanpa terkecuali.
Dalil tersebut pun diamini oleh pemerintah Indonesia dengan membuat lex specialist tentang lingkungan, beberapa diantaranya ialah UU No. 4 Tahun 1982 ihwal Ketentuan-ketentuan Utama Pengelolaan Lingkungan Hayati (UULH 1982) sebagai produk hukum pertama yang menandai lahirnya suatu bidang hukum baru yaitu hukum lingkungan. Kemudian lahirlah UU No. 23 Tahun 1997, UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang kemudian dimuat juga dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta aturan lainnya yang substansinya memuat tentang lingkungan hidup. Hal ini membuktikan bahwa secara de jure, Indonesia sangat memperhatikan isu-isu lingkungan hidup yang dinamis.
Secara de facto, justru kosa kata manis dalam aturan-aturan a quo tidak mampu direalisasikan dengan baik bahkan kasus-kasus mengenai lingkungan hidup menjadi kasus yang dianak-tirikan dalam penyelesaiannya. Misalnya saja, kasus reklamasi teluk jakarta, kasus PLTU batubara di Sumatera, kasus PT. Kimu Sukses Abadi dan kasus lingkungan lainnya yang terbukti merusak ekosistem sekitar hingga berimplikasi pada mata pencaharian masyarakat sekitar. Namun hingga saat ini, belum ada mekanisme dan solusi yang solutif dalam memecahkan problematika lingkungan di Indonesia, bahkan mirisnya masih terdapat kasus lingkungan yang belum menemukan titik terang hingga saat ini dikarenakan berbagai alasan seperti bukti yang tidak cukup, waktu penyelidikan dan penyidikan yang mandet, serta kurangnya kompetensi hakim dalam memutus perkara lingkungan. Maka dari itu, probelma ini akan dipetakan berdasarkan 3 landasan argumen yakni filososif, yuridis, dan sosiologis untuk membuktikan bahwa pembentukanpengadilan Lingkungan Hidupad- hoc di Indonesia memiliki urgensitas sebagaimana pengadilan ad hoc lainnya.
Secara filosofis. Dalam alinea keempat UUD NRI 1945 yang secara expressis verbis menyatakan bahwa salah satu tujuan negara ialah “melindungi segenap bangsa indonesia”. Frasa melindungi tersebut dapat dimaknai bahwa seluruh yang menjadi bagian penunjang keberlangsugan hidup dari bangsa Indonesia termasuk tempat tinggal dan lingkungan wajib dilindungi oleh negara. Kemudian sila kelima Pancasila yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”. dapat diartikan bahwa seluruh yang merupakan Warga Negara Indonesia wajib diperlakukan sama, sebagaimana prinsip equity tanpa membedakan status sosial termasuk juga keadilan dalam mendapatkan lingkungan yang sehat dan bersih.
Menilik dari kedua landasan filosofis tersebut sebagai fundamental norm bagi norma-norma yang lainnya, maka alasan mendasar dari pembentukan pengadilan Lingkungan Hidup ad hoc di Indonesia telah terpenuhi.
Secara yuridis. Tujuan pengadilan ad-hoc (sementara) ialah sebagai wadah untuk menyelesaikan perkara-perkara khusus seperti HAM, Tindak Pidana Korupsi, dan lain sebagainya . Sehingga dalam Pasal 1 angka 9 UU Kekuasaan Kehakiman diatur mengenai hakim ad hoc untuk mengimbangi pengadilan ad hoc yang ada saat ini. Dimana, pasal a quo mengenai tujuan dibentuknya hakim ad hoc yaitu untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan yang sejalan dengan kompleksitas perkara yang ada. Sejalan dengan hal tersebut, UUD NRI 1945 pasal 28H ayat (1) sedari awal telah menjamin adanya hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Lebih lanjut, dalam pasal 28I ayat (4) menegaskan bahwa perlindungan,pemajuan,penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Sehingga tiada lagi alasan bagi Pemerintah untuk tidak menindaklanjuti pembentukan pengadilan Lingkungan Hidupyang bersifat sementara ini demi menjamin Hak Warga Negara Indonesia.
Apalagi, secara lex spesialist dalam Pasal 3 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat UUPPLH juga menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari HAM. Diantaranya ialah hak mengajukan usul atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang dapat diperkirakan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup serta hak untuk melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau pengrusakan lingkungan hidup.
Kedua hak tersebut pun dapat terimplementasi secara sempurna dengan membentuk suatu pengadilan khusus lingkungan hidup ad hoc. Kendati pun kasus yang diajukan hanya bersifat usul,keberatan ataupun dugaan atau bahkan sudah memiliki bukti yang kuat. Namun disinilah proses peradilan yang semestinya, untuk menunggu putusan hakim apakah perkara yang diajukan sesuai dengan alasan pengajuannnya atau justru berbeda.
Secara sosiologis. Berdasarkan data dari SIPSN per-tahun 2022 menunjukkan bahwa sampah plastik menjadi sampah dengan persentase paling besar kedua setelah sampah sisa makanan di Indonesia yakni sebesar 18,2%. Hal ini membuktikan bahwa throw of society atau budaya penggunaan barang sekali pakai menjadi budaya yang sudah tak lazim lagi dilakukan.
Tak hanya itu, salah satu penyumbang pencemaran di Indonesia berasal dari Limbah B3 yang dihasilkan oleh perusahaan dari sektor manufaktur, seperti data yang dikutip dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa terdapat 2.897 industri manufaktur menghasilkan limbah B3 pada tahun lalu. Contohnya ialah Kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT. Kimu Sukses Abadi, yang disegel sementara karena beberapa alasan salah satunya ialah membuang air limbah yang menyatu dengan drainase air hujan ke badan air. Akan tetapi sanksi yang diberikan hanyalah berupa sanksi administratif dan teguran untuk segera melakukan perbaikan.
Kendati pun sanksi tersebut telah sejalan dengan pasal 82B Omnibus Law Cipta Kerja, namun penulis menilai bahwa sanksi yang diberikan belum tegas karena tidak ada yang dapat menjamin bahwa dengan memberikan sanksi administratif saja akan membuat efek jerah bagi para pelaku industri yang nakal.
Penulis pun menilai bahwa layaknya manusia, alam pun memiliki hak asasi. Maka sebagai bentuk manifestasi perlindungan dan pemenuhan HAM sebagai fundamental principle negara hukum dan untuk meminimalisir terjadinya peningkatan pencemaran lingkungan hidup, maka perlunya dibentuk pengadilan Lingkungan Hidup ad hoc di Indonesia
Rekomendasi
Untuk menyelesaikan kompleksitas problematika lingkungan hidup, maka penulis menawarkan mekanisme untuk membentuk suatu pengadilan Lingkungan Hidup yang bersifat sementara (ad hoc) dengan menyatukan pengadilan Kehutanan ad hoc yang sudah ada. Hal ini dikarenakan kehutanan merupakan bagian dari lingkungan hidup sehingga dalam pengadilan ad hoc tersebut akan bersifat meluas tidak hanya menyelesaikan perkara bidang kehutanan saja namun seluruh cakupan lingkungan hidup sekaligus menyeleksi hakim yang memiliki kompetensi dibidang tersebut.
Selain itu, perlu adanya revisi peraturan mengenai lingkungan hidup sepeti menghapuskan syarat adanya korban dalam UU Ciptaker terkait pasal lingkungan agar pelaku dapat diberikan sanksi pidana, sekaligus menghapuskan sanksi administratif sebagai bentuk sanksi tegas kepada pelaku pencemaran, mengingat problematika lingkungan hidup merupakan hal yang sensitif.