MAROS, MERPOS – Sidang kasus kematian Virendy Marjefy Wehantouw (19), mahasiswa jurusan Arsitektur angkatan 2021 di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (FT Unhas), yang meninggal dunia secara tragis saat mengikuti kegiatan Pendidikan Dasar dan Orientasi Medan (Diksar & Ormed) XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas, pada Januari 2023, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Maros, Rabu (13/3/2024) pagi hingga siang hari.
Dalam sidang tersebut, majelis hakim yang dipimpin langsung Ketua PN Maros, Khairul, SH, MH memeriksa 2 (dua) orang saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum M. Alatas dan Sofianto Dhio M, SH. Kedua saksi itu yakni James Wehantouw (ayah almarhum), dan Viranda Wehantouw (kakak Virendy). Menariknya, kehadiran ayah dan anak ini mendapat pengawalan ketat sejumlah petugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia (RI).
Di persidangan yang mengadili dua terdakwa, Muhammad Ibrahim Fauzi (Ketua UKM Mapala 09 FT Unhas) dan Farhan Tahir (Ketua Panitia Diksar & Ormed XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas), Viranda selaku saksi pelapor dalam perkara ini menerangkan, perihal awal mendapatkan informasi pada Sabtu 14 Januari 2023 pagi yang mengabarkan, jika adiknya sedang berada di Ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat) Rumah Sakit (RS) Grestelina Makassar.
Didengar kesaksiannya selama kurang lebih 2 jam, lulusan Universitas Fajar (Unifa) Makassar ini mengakui pula, pemberi informasi via telepon yang belakangan diketahui bernama Muhammad Ibrahim Fauzi itu, tidak mau menyebutkan bagaimana kondisi adiknya yang sebenarnya. “Kami baru mengetahui jika ternyata Virendy sudah meninggal dunia, setelah bapak saya menghubungi kerabat yang bekerja di rumah sakit swasta ternama tersebut,” tuturnya.
Viranda pada kesempatan ini mengungkapkan pula, diduga adiknya bergabung di organisasi pencinta alam itu, dan mengikuti kegiatan Diksar karena adanya desakan dari senior kampusnya. Dugaan muncul setelah melihat bukti chat almarhum dengan seorang seniornya yang juga pengurus Mapala 09 FT Unhas. “Meski adik saya sudah menolak secara halus, seniornya tetap mendesak. Bahkan uang pendaftarannya dibayarkan oleh seniornya,” tandasnya.
Selanjutnya, James Wehantouw selaku ayah kandung almarhum Virendy ketika tampil memberikan kesaksiannya, secara tegas menyoroti profesionalitas oknum penyidik Satreskrim Polres Maros dalam menangani penyelidikan, maupun penyidikan kasus yang pernah viral dan mendapat atensi publik di tanah air. Pasalnya, sejak awal kasus ini dilaporkan, sudah terlihat adanya indikasi atau dugaan keberpihakan oknum aparat penegak hukum terhadap pihak tertentu.
“Dugaan negatif yang mencuat itu tentunya didukung fakta. Contohnya, saat diperiksa sebagai saksi, saya telah membeberkan panjang lebar apa yang saya ketahui, saya dengar, dan saya lihat terkait kematian Virendy. Namun kenyataannya, kesemua yang saya uraikan ini, tidak dimasukkan penyidik ke dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Begitu pula dengan sejumlah bukti pendukung yang sudah saya serahkan ke penyidik, sama sekali tidak ada dalam berkas perkara,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut James Wehantouw, dalam penetapan tersangka yang dilakukan penyidik Satreskrim Polres Maros, dinilainya sangat tidak mencerminkan keadilan hukum. Sebab jika kedua mahasiswa yang kini duduk di kursi pesakitan PN Maros ini dijerat dengan Pasal 359 KUHP (karena kelalaianya menyebabkan orang mati atau luka), seharusnya masih ada beberapa orang lagi yang bisa ikut terseret ditersangkakan.
Ia pun merinci orang- orang yang dimaksudkannya, diantaranya pihak Rektorat Unhas karena telah lalai mengeluarkan izin kegiatan Diksar. Kemudian Dekanat FT Unhas yang mengeluarkan rekomendasi. Lalu Dekan dan seluruh Pembantu Dekan FT Unhas pun lalai, akibat melepas secara resmi keberangkatan peserta Diksar dalam sebuah upacara pelepasan yang dilaksanakan di Kampus Fakultas Teknik Unhas, Gowa.
Masalah lainnya yang dibeberkannya, juga menyangkut sikap pihak institusi Unhas yang dipandangnya tidak punya rasa tanggung jawab terhadap peristiwa kematian Virendy. Demikian pula soal ajakan berdamai yang pernah ditawarkan Rektor Unhas kepada keluarga korban. Namun ajakan tersebut tidak pernah terealisasi sampai sekarang ini.
Usai mendengarkan kesaksian kedua keluarga Virendy, majelis hakim menunda sidang perkara ini sampai Rabu 20 Maret 2024, untuk memeriksa saksi-saksi lainnya. Menurut jaksa penuntut umum, pada sidang pekan depan pihaknya akan menghadirkan sebanyak 10 orang saksi.
Selesai sidang, Wakil Ketua LPSK RI, Dr. Livia Iatania DF Iskandar, M.Sc, Psi berkenan memberikan keterangan pers kepada sejumlah wartawan yang mencegatnya di lobi gedung PN Maros. Psikolog jebolan Universitas Indonesia tersebut, menyatakan rasa bangganya karena sidang perkara ini bisa berjalan lancar dan memberikan kepuasan kepada kedua terlindung LPSK yang sudah mendapatkan pemenuhan hak prosedural. (*)