Oleh : Rusdi Juraij
(Anggota LBH SUNAN Parepare/Dewan Redaksi MERPOS)
OPINI. Ingatan masih segar saat menikmati hidangan coto di bilangan jalan Sultan Hasanuddin seperti biasa langsung bayar nilai menu, tapi hari itu ada yang lain, setiap pelanggan diminta 10 persen dari nilai makanan. Itu pajak kata pemilik warung. Timbul pertanyaan yang kena pajak sebenarnya siapa? Lalu apakah cara pembebanan pajak seperti itu? Lalu apakah sudah dikaji cara itu bisa berpontensi mematikan usaha masyarakat? Dan sejumlah pertanyaan lagi yang muncul. Di radio Mesra tampil bicara yang juga tidak jelas kapasitas membahas masalah pajak hingga seolah mengancam dengan menyebut-nyebut institusi KPK. Lalu memangnya pejabat di kota ini dijamin bersih dari perilaku korupsi? KPK itu lembaga pemberantasan korupsi bukan lembaga penjaga warung.
Pada prinsipnya dalam konsep pemerintahan yang baik, instrumen pajak dalam membangun daerah merupakan sebuah keniscayaan hanya saja penerapan, pemberlakuan dan penetapan nilai dan jenis obyek pajak yang kadang memang perlu kajian mendalam. Rendahnya kepercayaan publik kepada pejabat publik, indeks korupsi kita yang masih tinggi hampir dapat dipastikan bakal menciptakan resistensi yang tinggi di masyarakat. Perlu ada sosialisasi yang massif, lebih dari itu publik harus diyakinkan adanya efek balik (benefit) ke publilk dengan pembebanan jenis pajak tertentu.
Beberapa bulan lalu, bersama ketua LBH SUNAN Muh. Nasir Dollo, S.H., M.H pernah mengangkat isu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang kami nilai bermasalah. Terakhir kita membaca Fraksi Nasdem yang dimotori legislator anyar bapak Ir Yasser Latif membuka posko pengaduan bagi yang merasa dirugikan dengan pajak bernama BPHTB. Ini kembali menguatkan dugaan adanya masalah, baik dalam teknis pembebanannya maupun pada cara menghitungnya, termasuk siapa yang berwenang menetapkan nilai. Di media terang-terangan disebut dugaan pungli sangat mungkin terjadi, meski dalam hukum (pidana) tidak tercantum istilah pungutan liar. Namun jika memang itu terjadi maka potensi hukum pidana (korupsi) bekerja cukup besar.
Disinyalir penarikan pajak disebut tidak berdasarkan aturan yang ada. Seperti dilansir sejumlah media, Plt Kepala BKD Parepare Agussalim membenarkan Polda Sulsel memanggil Kabid Pendapatan Prasetyo. Pemanggilan itu setelah masyarakat melapor ke Polda dugaan pungli pajak BPHTB (http://parepos.fajar.co.id/2019/10/peduli-pungli-pajak-bphtb-fraksi-nasdem-di-dprd-parepare-buka-posko-pengaduan/). Dugaan lain NJOP atau NPOP langsung dikali 5 persen sebelum dikurangi NJOP/NPOP Tidak Kena Pajak. Kecurigaan miring publik atas BPHTB makin kencang saat berhembus isu bahwa nilainya bisa tawar menawar, logika publik sulit mencerna.
Sebut saja Dewi (nama samaran) dari kecamatan Bacukiki Barat mengadu ke kami tentang besaran BPHTB atas tanah dan bangunan yang ia beli beberapa tahun silam, warga Cappagalung ini tidak menyangka kalau BPHTB nya mencapai Rp. 3.390.000. sementara di berbagai media, setiap kunjungan Presiden RI Jokowi, ratusan warga euphoria memeroleh sertifikatnya begitu mudah. Dalam bayangan bu Dewi yang disaksikan itu adalah pelaksanaan Program Nasional Agraria Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (Prona PTSL) yang diklaim gratis, lalu apakah BPHTB tidak masuk kategori pajak yang digratiskan dalam Prona PTSL? Namun akibat desakan kebutuhan akhirnya Dewi pasrah saja membayar sesuai nilai yang tertera di SSPD-BPHTB.
Nilai BPHTB Dewi berdasarkan hitungan Pemerintah Daerah diperoleh dari hasil hitung 5% dikali dengan hasil kurang Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) Rp. 127.800.000 dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebesar Rp. 60.000.000,- atau 5% X (Rp. 127.800.000 – Rp. 60.000.000,-) atau 5% X (Rp. 67.800.000,-) = Rp. 3.390.000,-.
Yang menjadi pertanyaan NPOP sebesar Rp. 127.800.000 itu diperoleh darimana? Dalam ketentuan Pasal 5 Ayat 2 Huruf a Perda Kota Parepare No 3 Tahun 2011 tentang BPHTB. NPOP pada perolehan hak atas tanah dan bangunan melalui proses JUAL BELI harus mengacu pada Harga Transaksi. Dalam case ini Dewi membeli tanah dan bangunan itu dengan Nilai Transaksi Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah), selisih jauh dengan nilai perolehan yang ditetapkan sepihak sebesar Rp. 127.800.000,-
Karena NPOP berdasarkan Nilai Transaksi lebih rendah dari NJOP PBB sebesar Rp. 95.518.000.-. maka dasar pengenaan yang dipakai harus mengacu pada NJOP PBB tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 5 Ayat 3 Perda Kota Parepare No 3 Tahun 2011 tentang BPHTB.
Lalu berapa BPHTB yang seharusnya dibawar oleh Dewi? 5% dikali dengan hasil kurang NJOP Rp. 95.518.000.-. dengan NPOPTKP Rp. 60.000.000,- atau 5% X (Rp. 95.518.000.-. – Rp. 60.000.000,-) atau 5% X (Rp. 35.518.000,-) = Rp. 1.775.900,-. Bila dibandingkan BPHTB yang dibayar sebesar Rp. 3.390.000,- maka terdapat selisih yang diduga sebagai pungutan liar (sebagaimana dilansir di media) sebesar Rp. 1.614.100,-. Ini khusus untuk kasus Dewi. Lalu bagaimana dengan dugaan ribuan pemohon sertifikat yang lain, tentu potensi dugaan pungli itu lebih besar lagi.
Informasi yang dihimpun, pemohon sertifikat diperkirakan mencapai angka yang tidak sedikit. Hal lain yang penting untuk dipertanyakan adalah apakah orang yang menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebesar Rp. 127.800.000 itu memang memiliki kewenangan untuk menghitung atau menaksir dan menentukan harga.
Jika pemerintah daerah tidak mampu menjelaskan acuan penetapak NPOP yang terkesan sepihak ini maka penulis menilai ada indikasi pemerintah memanfaatkan kebutuhan masyarakat akan perolehan sertifikat tanah dengan pembebanan pajak (BPHTB) yang tidak jelas mekanisme penetapan nilainya. Terhadap tanah dan bangunan Dewi yang dinilai Rp. 127.800.000,-. Apakah pemerintah daerah bersedia membeli dengan harga sebesar itu?
Latar belakang peluncuran PRONA PTSL itu ialah negara ingin memudahkan masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya, memeroleh alat bukti kepemilikan yang sah menurut hukum, dan yang paling strategis ialah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan sertifikat rakyat bisa bermohon kredit dengan bunga rendah di bank untuk memulai berusaha atau menambah volume usaha yang telah ada.
Semoga Fraksi Nasdem DPRD Parepare dalam menyoroti persoalan ini tidak setengah-setengah, jauh dari sebatas pencitraan belaka, publik menunggu RDP/Hearing atau apapun namanya, tuntaskan upaya untuk memastikan pemungutan pajak sesuai dengan prinsip yang selalu didengungkan kepala daerah kita taat azas, taat administrasi dan taat anggaran.
(Parepare, 18 Oktober 2019)